Jumat, 26 Juni 2009

LAHAN BASAH DI NAGARA


Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, tujuan kami pertama adalah kawasan Nagara. Yang pertama kami lakukan adalah mewawancarai penduduk sekitar untuk mengetahui bagaimana mereka bertahan hidup disana. Dari hasil wawancara dgn Bpa H. Muhammad diketahui bahwa Kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak tanah, lauk-pauk, sayuran, teh atau kopi dan lain-lain telah mencukupi atau tetap ada jarang mengalami kelangkaan. Sebagian besar para penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang. Keadaan disana hampir mirip dengan di pasar terapung yang ada di sungai Barito bahkan ada toko kelontong disana.Untuk aktivitas kehidupan masyarakat di daerah tersebut juga diperoleh data dari sumber yang sama yaitu: bekerja dalam 6 hari/minggu , beristirahat dalam 1 hari/minggu, rekreasi hanya pada saat Hari Libur Besar/Hari Raya dan Sosialisasi yang tetap ada pada saat acara keagamaan dan acara sosial di desa.
Rawa Nagara adalah rawa yang terbentuk akibat Rawa Nagara merupakan salah satu sudut di cekungan Barito dan rawa seluas hampir 1 juta hektar ini berfungsi menghambat banjir dari luapan sungai di daerah tangkapan air. Susahnya adalah sungai sekaligus rawa Nagara ini dimanfaatkan oleh warga untuk keperluan sehari-hari bahkan untuk beternak kerbau rawa.

Inilah yang kami temukan sepanjang menyusuri rawa Bangkau di Nagara. Banyaknya Jamban untuk MCK serta adanya Peternakan Kerbau rawa. Sehingga tidak heran apabila tingkat pencemaran air di rawa Bangkau serta Sungai Nagara
termasuk tinggi. Banyaknya limbah rumah tangga serta Limbah pabrik industri yang mengakibatkannya. Warga sekitar telah terbiasa dgn budaya yg bergantung pada sungai atau rawa bangkau. Inilah yang diperlukan campur tangan Pemerintah dan instansi terkait untuk mengubah budaya ini.
Tetapi di rawa bangkau ada banyak Eceng Gondok yang tidak dimanfaatkan hanya dib
iarkan tumbuh disana sini. Sebenarnya Eceng Gondok dapat dimanfaatkan untuk kerajinan rumah tangga dan sudah pernah dilakukan oleh beberapa org. Tentunya ini perlu dukungan dari beberapa pihak terutama PEMERINTAH daerah.
















Pemanfaatan Energi Sinar Matahari untuk Energi listrik di Rawa Bangkau Dari observasi yang telah dilakukan sebagai mahasiswa dari program studi Fisika FMIPA UNLAM kami menemukan satu hal yang dapat dimanfaatkan dari daerah Rawa Bangkau ini, tentunya disamping banyaknya manfaat-manfaat lain yang dapat di angkat dari daerah ini. Pembuatan Energi Listrik Bantuan dari Sel Surya merupakan salah satu hal yang menarik bagi fisika. Walaupun telah diketahui sebelumnya bahwa di daerah ini memang sudah pernah memanfaatkan sel surya sebagai pembangkit listrik bantuan, namun hal itu tidak menyurutkan hasrat kami untuk melakukan observasi lebih mendalam. Karena pemanfaatannya yang masih kurang, jadi kamipun berfikiran nuntuk dapat memaksimalkan tenaga surya yang ada.
Energi adalah satu kata yang mempunyai makna sangat luas karena tidak ada aktivitas di alam raya ini yang bergerak tanpa energi dan itulah sebabnya kata salah seorang professor di Jepang bahwa hampir semua perselisihan di dunia ini, berpangkal pada perebutan sumber energi.

Secara umum sumber energi dikategorikan menjadi dua bagian yaitu non-renewable energy dan renewable energy. Sumber energi fosil adalah termasuk kelompok yang pertama yang sebagaian besar aktivitas di dunia ini menggunakan energi konvensional ini.Sekitar tahun delapan puluhan ketika para ahli di Indonesia menawarkan sumber energi alternatif yang banyak digunakan di negara maju yaitu nuklir, banyak terjadi pertentangan dan perdebatan yang cukup panjang sehingga mengkandaskan rencana penggunaan sumber energi yang dinilai sangat membahayakan itu. Diantara usulan yang banyak dilontarkan kala itu adalah mengapa kita tidak menggunakan sumber energi surya. Memang tidak diragukan lagi bahwa solar cell adalah salah satu sumber energi yang ramah lingkungan dan sangat menjanjikan pada masa yang akan datang, karena tidak ada polusi yang dihasilkan selama proses konversi energi, dan lagi sumber energinya banyak tersedia di alam, yaitu sinar matahari, terlebih di negeri tropis semacam Indonesia yang menerima sinar matahari sepanjang tahun.Permasalahan mendasar dalam teknologi solar cell adalah efisiensi yang sangat rendah dalam merubah energi surya menjadi energi listrik, yang sampai saat ini efisiensi tertinggi yang bisa dicapai tidak lebih dari 20%, itupun dalam skala laboratorium. Untuk itu di negara-negara maju, penelitian tentang solar cell ini mendapatkan perhatian yang sangat besar, terlebih dengan isu bersih lingkungan yang marak digembar gemborkan.
Secara sederhana solar cell terdiri dari persambungan bahan semikonduktor bertipe p dan n (p-n junction semiconductor) yang jika tertimpa sinar matahari maka akan terjadi aliran electron, nah aliran electron inilah yang disebut sebagai aliran arus listrik. Bagian utama perubah energi sinar matahari menjadi listrik adalah absorber (penyerap), meskipun demikian, masing-masing lapisan juga sangat berpengaruh terhadap efisiensi dari solar cell. Sinar matahari terdiri dari bermacam-macam jenis gelombang elektromagnetik. Oleh karena itu absorber disini diharapkan dapat menyerap sebanyak mungkin solar radiation yang berasal dari cahaya matahari.

Rabu, 24 Juni 2009

Praktek Kerja Lapangan di Daerah Kandangan 1


Saya mengawali hari dengan cukup cepat karena akan ikut serta berangkat ke Kandangan. Sebuah acara yang telah dipersiapkan selama beberapa waktu sebelumnya. Untuk mengikuti acara atau praktikum ini kami telah melakukan perjuangan yang sangat berat dan tentunya kami berharap semoga praktikum ini dapat berjkalan dengan baik dan menjadi wisata belajar yang menyenangkan.
Kandangan merupakan kota transit bagi kendaraan Kota Banjarmasin yang akan menuju ke Kota Nagara atau sebaliknya. Kota kecil ini memiliki terminal yang cukup sibuk dan sebuah bangunan pasar tua dengan bentuk arsitektur yang mengesankan peninggalan era kolonial. Jika anda singgah di kota ini, cobalah makanan khas Kabupaten Kandangan yang lezat yaitu Ketupat Kandangan yang dimakan dengan Gulai Ikan Haruan.

Tujuan pertama adalah kawasan Nagara tepatnya Sungai Nagara. SINAR Matahari yang terik terlihat jatuh menyinari perahu-perahu kelotok (perahu bermesin tempel khas Kalimantan Selatan). Dari atas jembatan, sejak Matahari menyembul di ufuk timur, terlihat perahu-perahu di Sungai Nagara itu hilir mudik mengangkut para penumpang. Hal itu yang terlihat disaat kami tiba disana.
Nagara merupakan kota kecil yang ditempati Sungai Nagara (cabang Sungai Barito) dan sering meluap. Karena itu, rumah penduduk di tenpat ini umumnya adalah rumah yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi. Pada saat musim hujan, hampir seluruh bagian kota tertutupair kecuali jalan yang sengaja dibuat tinggi, namun pada puncak musim hujan, permukaan jalan juga tertutup air sehingga Nagara berubah menjadi semacam “Kota Air”.

Menurut penuturan salah seorang warga yang kami temui disana, Nagara yang terletak tidak jauh dari kota Kandangan, merupakan ibukota dari kerajaan pertama di Kalimantan Selatan bernama Nagara Dipa sebelum dipindahkan oleh Pangeran Samudera ke Bandarmasih yang kemudian berkembang menjadi Kota Banjarmasin saat ini. Nagara juga menjadi pusat kerajinan senjata tajam seperti pedang, golok dan keris. Para pengrajin ditempat ini mampu menghasilkan berbagai jenis senjata tajam seperti Mandau dengan bentuk yang indah dilengkapi dengan sarungnya. Hal itu yang mungkin menyebabkan masyarakat di Nagara menekuni kerajinan loagam dan gerabah. Pembuatan gerabah terletak di Desa Bayanan tidak jauh dari Pasar Nagara, pengunjung bisa menyaksikan setiap tahapan pembuatan dengan peralatan sederhana atau bahkan pengunjung bisa memcoba ikut untuk pembuatannya. Pengrajin biasanya membuat bermacam-macam bentuk Tembikar dan yang terkenal adalah Dapur Nagara atau Anglo.


Kamis, 18 Juni 2009

Perbaikan MID TEST PLLB

1. Lahan basah di Kalimantan Selatan memang memiliki peran penting untuk siklus hidrologis, yaitu :
Menyediakan air sepanjang tahun khususnya ke akuifer (pengisian kembali air tanah) dan lahan basah lain. nilai 70 karena saat ini pemanfaatan air tanah cukup baik.

- Mengendalikan terjadinya luapan air pada musim penghujan.nilai 60 karena saat ini masih terdapat dimana-mana.

- Menjernihkan air buangan serta dapat menyerap bahan-bahan polutan dengan kapasitas

tertentu. nilai 60.

- Mencegah intrusi air asin. nilai 70.

- Membantu melindungi daerah pantai dari aktivitas gelombang dan badai. nilai 70

- Mengendalikan erosi serta mampu menahan lumpur. nilai 70

- Penting untuk konservasi khususnya siklus

spesies tanaman, ekosistem, bentang alam,

proses alam, komunitas. nilai 65.

2.Pada penerangan awal kita diberi tahu bahwa curah hujan rata-rata tahunan di Meratus 100 M liter (100.000.000 liter) per bulan, yang artinya dalam setahun curan hujan rata-ratanya adalah:

(100.000.000 liter/bulan) x (12 bulan) = 1.200.000.000 liter/tahun

Keterangan berikutnya menyebutkan bahwa 80% dari curah hujan tersebut menjadi air larian dan masuk ke berbagai sungai:

80% dari 1.200.000.000 = 960.000.000 liter/tahun

Diantara air tersebut mengalir ke sungai Riam Kiwa sebanyak 1.800.000 liter. Dilanjutkan pada keterangan berikutnya, bahwa sungai tersebut hanya mampu mengairi 100 hektar lahan masing-masing 9.000 liter, saya mengasumsikan totalnya menjadi 900.000 liter (100 x 9.000 liter). Apakah Anda setuju dengan pengalian yang saya lakukan, saya harap untuk sampai hal ini adalah ya. (coba katakan ya, sepakat kita…)

Nah, di mulai dari sini lah kebingungan saya muncul. Jika demikian, maka air yang mengalami evaporasi dan evapotranspirasi adalah sisanya:

Evaporasi dan evapotranspirasi = Air yang melalui Riam Kiwa – air untuk

mengairi 100 hektar lahan

= 1.800.000 – 900.000

= 900.000 liter

Dijelaskan bahwa dengan asumsi yang sama vegetasi berperan dalam evapotranspirasi pada lima sungai lainnya, yakni, sungai Riam Kanan, sungai Amandit, sungai Batang Alai, sungai Alabio dan sungai Tabalong, di mana perbandingan debit airnya sepanjang tahun 1 : 1 : 1 : 1 : 1.

Menurut pandangan saya, jika halnya demikian maka debit air yang mengalir di setiap sungai pada setiap tahunnya adalah sama yaitu 1.800.000 liter/tahun, dengan 900.000 liter/tahun digunakan untuk mengairi pertanian. Maka sisa air yang berevaporasi dan evapotranspirasi pun adalah sama 900.000 liter/tahun. Untuk yang satu ini ada banyak perbedaan pendapat terhadap maksud dari ‘asumsi yang sama’, tapi ya,, seperti inilah saya menjawab soal ini pada mid test waktu itu. Jadi, total evapotranspirasi dan evaporasi yang terjadi adalah 900.000 liter/tahun.

Perbandingan antara evapotranspirasi dan evaporasi adalah 1 : 2, maka:

Evapotranspirasi = (1/3) x 900.000 = 300.000 liter/tahun

Evaporasi = (2/3) x 900.000 = 600.000 liter/tahun

Peranan vegetasi dalam berevapotranspirasi pada setiap sungai adalah 300.000 liter/tahun.


3. Rawa lebak (floodplain) adalah perairan dataran rendah
yang terbentuk karena air sungai tidak mampu dialirkan,
sehingga menggenangi daerah sekitar sungai. Sedangkan rawa pasang surut adalah
rawa pantai dipengaruhi fluktuasi pasang surut.

Selasa, 02 Juni 2009

KUALITAS AIR UNTUK MENENTUKAN PENGELOLAAN DAS

Daerah aliran sungai (DAS) menurut definisi adalah suatu daerah yang dibatasi (dikelilingi) oleh garis ketinggian dimana setiap air yang jatuh di permukaan tanah akan dialirkan melalui satu outlet. Komponen yang ada di dalam sistem DAS secara umum dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu komponen masukan yaitu curah hujan, komponen output yaitu debit aliran dan polusi / sedimen, dan komponen proses yaitu manusia, vegetasi, tanah, iklim, dan topografi. Sehingga pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan setiap komponen DAS sehingga dapat mencapai tujuan yang dimaksud.

Tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara maksimum lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik. Sedangkan pembangunan berkelanjutan adalah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam bagi kepentingan umat manusia pada saat sekarang ini dengan masih menjamin kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang.

Dalam sistem DAS mempunyai arti penting terutama bila hubungan ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya, oleh sebab itu perencanaan daerah hulu menjadi sangat penting.

Dalam setiap aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem DAS, sangat diperlukan indikator yang mampu digunakan untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan tersebut telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau belum. Indikator yang dimaksud adalah indikator yang dengan mudah dapat dilihat oleh seluruh masyarakat luas sehingga dapat digunakan peringatan awal dalam pelaksanaan kegiatan.

Secara umum pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan paling sedikit harus memenuhi indikator lestari dan berkelanjutan dibawah ini, yaitu:

· Pengelolaan yang mampu mendukung produktifitas optimum bagi kepentingan kehidupan (indikator ekonomi)

· Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan kehidupan (sosial)

· Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi (indikator lingkungan)

· Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem institusi yang mendukung (indikator teknologi)

Pada pengelolaan DAS indikator paling memungkinkan adalah melihat kondisi tataairnya. Yang dimaksud indikator tata air kondisi tata air yang meliputi:

· Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan perubahan kuntitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat maka harus diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air limpsan permukaan maupun debit air sungai.

· Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dll. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur.

· Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud disini adalah perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit puncak minimum sungai utama (di titik outlet DAS). Indikator ini mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan. Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dll

· Indikator muka air tanah. Indikator ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah di suatu lahan. Indikator muka air tanah ini mengisyaratkan besarnya air masukan ke dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Yang mempengaruhi besarnya air masuk kedalam tanah adalah vegetasi, kelerengan, kondisi tanahnya sendiri, dll. Ketinggian muka air tanah ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun ketinggian air tanah dangkal (non-aquifer).

· Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini diperanguhi perubahan tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya. Sehingga bila terjadi perubahan secara besar pada tutupan lahan maka akan mempengaruhi klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi.

Dengan demikian dengan mengetahui indikator tata air yang dapat dengan mudah dilihat dengan pengamatan masyarakat umum diharapkan dengan demikian kontrol pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan dengan lebih terbuka. Sebagai gambaran bahwa suatu daerah aliran sungai dapat dikatakan masih baik apabila:

· Memberikan produksi tinggi bagi keperluan kehidupan dalam DAS yang bersangkutan

· Menjamin kelestarian DAS, dimana erosi yang terjadi dibawah erosi yang dapat ditoleransi

· Terdapat kelenturan, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu bagian, maka bagian lain mampu memberikan supply / bantuan

· Bersifat pemerataan, dimana setiap stake holder yang ada di dalam DAS mampu berperan sesuai dengan kemampuan yang dipunyai dan mendapatkan imbalan yang sesuai

Sedangkan dari aspek biofisik, suatu DAS dikatakan baik apabila:

· Debit sungai konstan dari tahun ke tahun

· Kualitas air baik dari tahun ke tahun

· Fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil

· Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun

· Kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu

Kesimpulan dan Saran

Dari tinjauan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

· Walaupun indikator tata air ini belum banyak diterapkan untuk menilai pelaksanaan pembangunan, akan tetapi karena indikator yang digunakan mudah dan dapat dilakukan oleh setiap masyarakat, maka penggunaan indikator ini perlu disosialisasikan

· Dalam pemanfataan indikator tata air ini pelaksanaan pembangunan/ kegiatan dalam suatu DAS harus dilihat secara bersama-sama (holistik) sehingga sangat cocok untuk dipakai sebagai indikator keberhasilan pembangunan suatu DAS.

· Kajian lebih detail akan indikator tata air yang digunakan sangat diperlukan, karena data yang terkumpul dalam penilaian indikator ini adalah data time series yang harus dicermati secara detail

KONVENSI RAMSAR DAN DISTRIBUSI LAHAN BASAH DI KALIMANTAN SELATAN

Konvensi Ramsar adalah perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan yang ditandatangani di kota Ramsar, Iran. Konvensi Ramsar disusun dan disetujui negara-negara peserta sidang pada tanggal 2 Februari 1971 dan mulai berlaku 21 Desember 1975. Nama resmi konvensi ini adalah The Convention on Wetlands of International Importance, especially as Waterfowl Habitat. Konvensi Ramsar diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1991 melalui Keputusan Presiden RI No. 48 tahun 1991. Beberapa keputusan penting dalam Konvensi Ramsar antara lain: (1) Merasa percaya bahwa konservasi lahan basah berikut flora dan faunanya dapat dijamin oleh perpaduan kebijakan-kebijakan nasional yang berwawasan luas dengan tindakan internasional yang terkoordinasi; (2) Pasal 2: Setiap anggota hendaknya menunjuk lahan basah yang baik di dalam daerahnya untuk dicantumkan pada Daftar Lahan Basah Kepentingan Internasional. Indonesia: (a) TN. Berbak – Jambi; (b) SM. Danau Sentarum; dan (3) Pasal Para anggota hendaknya merumuskan dan melaksanakan perencanaannya dalam rangka meningkatkan pelestarian lahan basah yang termasuk dalam daftar dan sejauh mungkin memanfaatkan lahan basah secara bijaksana di dalam daerahnya.

Definisi lahan basah menurut Konvensi Ramsar 1991 adalah daerah payau, paya, tanah gambut atau perairan, baik yang bersifat alami maupun buatan, tetap ataupun sementara, dengan perairannya yang tergenang ataupun mengalir, tawar, agak asin ataupun asin, termasuk daerah-daerah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut

Luas lahan basah (wetland) di dunia mencapai 8.558.000 km2 atau lebih dari 6% luas permukaan bumi yang terbagi atas zona polar 200.000 km2; Boreal 2.558.000 km2; sub Boreal km2; sub tropis km2 dan zona tropis 2.638.000 km2 (Maltby and Tuner, 1983). Indonesia termasuk ke dalam tujuh negara di Asia Pasifik yang mempunyai lahan basah yang didukung oleh keanekaragaman lahan basah yang luas. Kini, luas lahan basah di Indonesia adalah sekitar 30,3 juta ha.Sejumlah 1.616 lokasi lahan basah dengan luas keseluruhan 1.455.000 km² dimasukkan ke dalam Daftar Ramsar Lahan Basah Penting bagi Dunia. Lokasi lahan basah yang dilindungi Konvensi Ramsar disebut situs Ramsar. Negara yang memiliki situs Ramsar terbanyak adalah Britania Raya (164 situs), sedangkan Kanada memiliki situs Ramsar terluas dengan sekitar 130.000 km² lahan basah, termasuk Teluk Queen Maud yang luasnya 62.800 km².

LAHAN BASAH DI KALIMANTAN SELATAN

Lahan basah di Kalimantan Selatan terdiri atas tanah gambut, tanah rawa, dan tanah alluvial dengan tingkat biodiversitas yang cukup tinggi. Tanah gambut ialah tanah dengan lapisan setebal sekurang-kurangnya 50 cm. Yang berlapisan gambut lebih tipis dapat dinamakan glei humik. Tanah rawa dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari dua golongan tanah, yaitu tanah hidromorfik kelabu atau tanah glei humik rendah. Salah satu contoh persebaran lahan basah di Kalimantan Selatan di antaranya adalah Pulau Kaget dengan hutan mangrovenya (tanah alluvial/berlumpur).

Sebagian kawasan Pulau Kaget telah ditetapkan seluas 63,60 Ha dengan fungsi Suaka Margasatwa pada tanggal 27 September 1999 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 772/Kpts-II/1999. Pulau yang terletak dekat muara Sungai Barito dengan perwakilan tipe ekosistem hutan mangrovenya memiliki flora dan fauna khas hutan mangrove merupakan keunikan tersendiri kawasan ini.

Hutan mangrove dengan komposisi jenis flora seperti rambai (Sonneratia caseolaris), nipah (Nypa fructicans), bakung (Crinum asiaticum), jeruju (Acanthus ilicifolius), dan lain-lain. Selain bekantan (Nasalis larvatus) hutan mangrovenya menjadi habitat fauna seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), elang laut perut putih (Heliaetus leucogaster), elang bondol (Haliastur indus), raja udang biru (Halycon chloris), dan lain-lain.

Berdasarkan batas wilayah administrasi pemerintahan, Kawasan Cagar Alam Pulau Kaget termasuk dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Barito Kuala, Kecamatan Tabungamen, Kelurahan Tabungamen Muara. Walaupun demikian, Cagar Alam Pulau Kaget jaraknya lebih dekat dari Kota Madya Banjarmasin dibandingkan dari Kota Marabahan sebagai Ibukota Kabupaten Barito Kuala.

Beberapa contoh persebaran lahan basah yang lain di Kalimantan Selatan di antaranya adalah Taman Hutan Raya di Mandiangin, Loksado, dan kawasan kuala seperti Kuala Kapuas. Di mana letaknya di muara sungai, tempat air tawar (sungai) bertemu dengan air laut sehingga nerupakan air payau.

Selasa, 26 Mei 2009

SUNGAI BARITO
Barito adalah wilayah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito, khususnya yang termasuk wilayah provinsi Kalimantan Tengah. Daerah ini dahulu pada masa pemerintahan Hindia Belanda merupakan Onder Afdeeling Barito yang beribukota di Muara Teweh (sekarang ibukota Barito Utara). Bekas Onder Afdeeling Barito (bagian dari Afdeeling Kapuas Barito) sekarang sudah berkembang menjadi 4 kabupaten yaitu Barito Selatan, Barito Utara, Barito Timur dan Murung Raya. Wilayah ini sekarang sedang berjuang untuk membentuk provinsi Barito Raya, dimana gerakan ini berakar dari pemikiran para penduduk di sepanjang DAS Barito dalam bidang sosial politik, untuk meminta perhatian yang lebih serta untuk mendapatkan pembagian yang lebih berimbang dan pemberian akses-akses ekonomi atas kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah-daerah yang berada di sepanjang DAS Barito. Wilayah Barito ini dalam Kitab Negarakertagama disebutkan sebagai salah satu daerah taklukan kerajaan Majapahit yang berada di pulau Tanjung Negara. Pada masa Kerajaan Banjar wilayah ini termasuk dalam daerah pengaruh kekuasaannya. Bagian hilir dan muara dari DAS Barito adalah wilayah kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Barito Kuala merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Banjar. Pada masa Hindia Belanda wilayah kabupaten Barito Kuala termasuk Afdeeling Bandjarmasin. Pada umumnya penduduk yang tinggal di sepanjang sungai Barito adalah dari etnik kategori Barito Isolec atau suku dayak dengan penuturan bahasa Barito seperti Dayak Bakumpai, Dayak Murung, Dayak Siang, Dayak Maanyan, Dayak Bawoo. Sesudah Perang Banjar berakhir, terjadi perang besar yang lebih dikenal dengan Perang Barito dengan pejuang utamanya adalah pangaran Antasari, Ratu Zaleha dan Gt.Muhammad Seman. Tokoh pejuang dalam perlawanan masyarakat Barito yang lain adalah Panglima Wangkang, Tumengung Surapati dan Haji Matalib. Pendangkalan alur ambang sungai Barito di Kalimantan Selatan makin memprihatinkan dan telah mengganggu kelancaran pelayaran. Karenanya Pemerintah Provinsi Kalsel akan segera mengeluarkan kebijakan penghentian angkutan batubara.Lebar alur Sungai Barito saat ini juga menciut, bahkan di beberapa tempat hanya tinggal 30 meter dari normal 100 meter. Air Sungai Barito Kalimantan Selatan, yang selama ini menjadi tumpuan hidup warga Banjarmasin dan sekitarnya dinyatakan tercemar limbah sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan mengatakan tercemarnya sungai Barito dan beberapa sungai lainnya, bisa mengakibatkan kecacatan terhadap bayi maupun warga, bila air tersebut tidak diolah secara benar. Hal ini karena, di Kalsel cukup banyak adanya tambang-tambang emas dan batu bara yang mengadung limbah yang cukup tinggi dan langsung di buang di sungai. Dari hasil survei yang dilakukan Dinkes secara berkala, penyakit yang berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan terbesar masyarakat. Hal tersebut tercermin dari masih tingginya kejadian seperti keracunan dan timbulnya penyakit yang berbasis lingkungan. Kondisi ini di disebabkan masih buruknya kondisi sanitasi dasar terutama air bersih dan penggunaan jamban keluarga yang tidak memperhatikan ketentuan kesehatan. Selain itu, perilaku hidup sehat masyarakat juga masih sangat rendah, yang diantaranya tercermin dalam kurang bersihnya pengelolaan bahan makanan serta buruknya penatalaksanaan bahan kimia dan pestisida yang kurang memperhatikan aspek kesehatan. Air limbah lima perusahaan tambang batubara yang mencemari Sungai Barito itu ternyata tingkat keasamannya cukup tinggi, yakni pH-3 padahal air limbah yang aman untuk lingkungan seharusnya pH-7. Dengan kadar keasaman yang tinggi, air limbah itu dikhawatirkan merusak kehidupan biota sungai yang ada di kawasan tersebut, padahal di sungai tersebut diketahui begitu banyak spesies udang dan ikan, baik ikan air tawar maupun air payau.